Friday, September 7, 2012

Tipu Daya Kapitalis Bangkrutkan Ekonomi Dunia Ketiga


Globalisasi adalah sekat dari rezim kapitalisme yang menganut pemahaman pasar bebas. Artinya sebuah sistem ekonomi yang berkembang melepas peran negara.

Peran negara diganti oleh organisasi mutual dari sistem kapiltalis yaitu WTO (World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia).

WHO ini adalah hasil dari perjuangan penganut pasar bebas yang ingin lepas dari kontrol negara, dan bahkan ingin menghapus peran negara menjadi seminimal mungkin.

Penganut ini diwakili kapitalisme yang sebebas-bebasnya tanpa peran negara (penganut neo-liberal), yang diwakili oleh dua negara adikuasa, Amerika Serikat dan Inggris. Aliran neo-liberal biasa dikenal juga sebagai aliran “KananBaru”.

Dengan memegang prinsip (1) Aturan Pasar Bebas,(2) memotong pengeluaran publik untuk pelayanan sosial, seperti terhadap pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk jaring pengaman sosial bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jembatan, jalan, air bersih. (3) Deregulasi, yang berarti mengurangi peraturanperaturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan.

(4) Privatisasi, dengan cara menjual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Ini termasuk juga menjual usaha pemerintah di bidang perbankan, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air. (5) Menghapus konsep “barang-barang publik”, dan menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, seperti menyalahkan kaum miskin yang tidak mempunyai pendidikan, jaminan sosial, kesehatan dan lainnya, sebagai kesalahan mereka sendiri.

Pandangan Neo-liberal inilah yang kini dipeluk oleh sebagian besar negara-negara maju dan banyak ekonom (ahli ekonomi) aliran utama di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Peran Bank Dunia dan IMF
Sebagai pendatang baru, WTO tidak bisa mulus begitu saja mengatur dunia, bila sebelumnya tidak ada usaha-usaha perintisannya. Dan itulah tugas utama yang telah dikerjakan oleh Bank Dunia dan IMF (Dana Moneter Internasional).
Bank Dunia yang semula hanya bertugas menjalankan upaya pemulihan pembangunan di Eropa paska-perang, kemudian telah memainkan upaya pendanaan proyek-proyek pembangunan yang sesuai dengan perluasan pasar bebas.

Bank Dunia sebenarnya juga telah memainkan peran sebagai “penjebak hutang”. Sebagai bankir, Bank Dunia telah sekaligus memainkan peran sebagai “Majikan”, yang menentukan strategi pembangunan yang ditempuh negara-negara Dunia Ketiga.

Dengan demikian, ia memainkan peran ganda, yang pada akhirnya memberi kekuasaan yang cukup untuk mendikte perekonomian negara-negara tersebut. Semenjak krisis hutang Dunia Ketiga di tahun 1982, di mana semakin banyak hutang-hutang yang tak mampu dibayar, Bank Dunia telah menambahkan perangkat yang lebih kuat untuk memaksakan berbagai agenda liberalisasi ekonomi, yaitu lewat Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP).

Hal ini berkait juga dengan pasang naiknya neo-liberalisme lewat Reagan-Thatcherisme kala itu. SAP pada dasarnya membawakan agenda-agenda neo-liberal, dengan memaksakan program-program mereka yang dikenal sebagai deregulasi dan privatisasi.

Kebijakan yang diterapkan Bank Dunia yang mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi suatu negara,. Bila negara-negara ingin meminta tambahan hutang, Bank Dunia memerintahkan agar negera penerima hutang melakukan “perubahan kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara tersebut gagal menerapkan SAP, Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan kebijakan yang diatur dalam SAP antara lain, program pasar bebas, privatisasi, dan deregulasi.

Bank Dunia menjadi mekanisme utama untuk menempa model-model pembangunan paska-kemerdekaan bagi negara-negara Dunia Ketiga. Bank Dunia melakukan hal itu melalui hutang yang terikat dengan berbagai kebijakan yang mendorong semakin tersatukannya negara-negara Dunia Ketiga dengan pasar dunia.

Hal itu juga dilakukan dengan cara mendorong peningkatan hasil bahan-bahan mentah dan impor peralatan teknologi baru yang berasal dari Utara; baik di bidang pertanian, kehutanan, maupun energi, dan sebagainya. Dengan demikian Bank Dunia tidak hanya mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi nasional yang bersifat makro dari negara-negara paska-kolonial, melainkan menyebarkan juga sistem teknologi Utara ke Selatan.

Pemahaman terhadap globalisasi akan menjadi lebih mudah, bila kita mengingat dasar dari semua itu, yaitu Kapitalisme, atau logika kapital (modal). Pertumbuhan dan perkembangan kapitalisme sepanjang sejarah ditunjang oleh ideologi pasar bebas, yaitu kebutuhan terus menerus dan berkelanjutan akan perluasan modal kapitalis ke segala tempat untuk mencari pasar baru.

Indonesia Terperangkap Utang
Ekonom Rizal Ramli menilai lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial.

Misalnya, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia.. Cara kerja Bank Dunia dalam menyeret Indonesia (dan negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan hutang.

John Perkins dalam bukunya, “Economic Hit Men”. mengatakan dalam pemberian hutang kepada negara-negara lain, hutang yang sangat besar, jauh lebih besar daripada kemampuan mereka untuk membayarnya. Salah satu syarat dari hutang itu adalah—contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk negara seperti Indonesia atau Ecuador—negara ini harus memberikan 90% dari hutang itu kepada perusahaan AS untuk membangun infrastruktur, misalnya perusahaan Halliburton atau Bechtel.

Ini adalah perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini kemudian akan membangun jaringan listrik, pelabuhan, atau jalan tol, dan ini hanya akan melayani segelintir keluarga kaya di negara-negara itu. Orang-orang miskin di sana akan terjebak dalam hutang yang luar biasa yang tidak mungkin bisa mereka bayar.”

Menurut Managing Director The World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi, industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7 Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.

Anggoro peneliti dari Institute of Global Justice mengatakan ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia. Pertama, memimpin Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on Indonesia) adalah 33 negara dan lembaga-lembaga donor yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia. CGI “membantu” pembangunan di Indonesia dengan cara memberikan pinjaman uang serta bantuan teknik untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas ekonomi liberal. Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi kepentingan negara-negara dan lembaga donor.

Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang dalam jumlah besar, bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development Bank). Tugas Bank Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan besar.

Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara kredit. Hutang ini justru menjadi alat bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya kepada Indonesia.

b. Hutang Dana Segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM)

APBN Digembosin
Besarnya jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutang dan bunganya. Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri (27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari total anggaran).

Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut, anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.

Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working for a world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.

Kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank Dunia adalah Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)

Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya. Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.

Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas. Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.

Tak heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras Bank Dunia dan menyebutnya “institusi yang tidak bekerja untuk orang miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi”. Dengan demikian, menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan didirikannya bank tersebut, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yaitu untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menjaga kestabilan ekonomi.

Melihat kinerja seperti ini, menurut Anggoro (2008), Bank Dunia sesungguhnya telah melanggar Piagam PBB yang menyebutkan, “to employ international machinery for the promotion of the economic and social advancement of all peoples”.

Dengan kata lain, Bank Dunia sebagai salah satu organ PBB mendapatkan mandat untuk membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan operasinya pada penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi perusahaan multinasional, dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam jeratan hutang tak berkesudahan.(Sigit/diolah dari berbagai sumber)

1 comment: